Dalam Surat AL Hajj ayat 37, Allah SWT berfirman :
” Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai ( keridhaan ) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. ( QS. Al hajj:37 )
Ayat diatas memberikan pelajaran bagi kita bahwa ibadah kurban dengan menyembelih binatang ternak merupakan symbol ketaqwaan dan loyalitas kita kepada Allah SWT. Oleh karena itu pelaksanaan ibadah kurban akan terasa lebih bermakna apabila dibarengi dengan penghayatan pesan-pesan yang terkandung didalamnya. Meskipun sejarah kurban telah tua seusia dengan
peradaban manusia itu sendiri, yaitu tatkala Allah Swt memerintahkan kepada putra-putra Nabi Adam AS yakni Qabil dan Habil untuk mengorbankan sebagian hartanya guna mendekat kepada Allah SWT, namun pelaksanaan ibadah kurban yang dilakukan oleh umat Islam saat ini adalah dalam rangka napak tilas terhadap ajaran yang pernah dilakukan oleh Abul Anbiya’ Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.
peradaban manusia itu sendiri, yaitu tatkala Allah Swt memerintahkan kepada putra-putra Nabi Adam AS yakni Qabil dan Habil untuk mengorbankan sebagian hartanya guna mendekat kepada Allah SWT, namun pelaksanaan ibadah kurban yang dilakukan oleh umat Islam saat ini adalah dalam rangka napak tilas terhadap ajaran yang pernah dilakukan oleh Abul Anbiya’ Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.
Ketika Allah SWT menyampaikan wahyu kepada Nabi Ibrahim lewat Ar Ru’yah Ash Shadiqoh ( Mimpi yang benar ) agar menyembelih anaknya Ismail, Nabi Ibrahim sempat tidak mempercayainya dan dianggap itu hanyalah sebuah bisikan syetan yang menginginkannya terjerumus dalam kemaksiyatan. Pada waktu itu logika berfikir Nabi Ibrahim berkata, sangat tidak rasional apabila Allah yang Maha Penyayang memerintahkannya untuk membunuh anak yang disayanginya dan baru didapatkannya ketika beliau berumur hampir satu abad. Namun ketika untuk kedua dan ketiga kalinya Allah kembali mengusik tidurnya dengan perintah tersebut, maka Nabi Ibrahimpun mulai melepaskan logikanya dan menerima perintah Allah tersebut dengan lapang dada, sami’na wa atho’na.
Aspek keimanan telah memenuhi rongga dada Nabi Ibrahim, beliau lebih mencintai Allah dibandingkan dengan putra semata wayangnya, didekati Ismail dan beliau Tanya tentang pendapatnya. Apa jawab Ismail ?
Duhai ayahku lakukan apa yang diperintahkan kepadamu, maka kelak engkau akan dapati aku termasuk orang-orang yang shabar.
Dari kisah pendek itu, bisa kita lihat bahwa baik Nabi Ibrahim maupun Nabi Ismail menelaah dan menerima perintah dari Allah sebagai ta,abudi ( bentuk ketaatan semata ) bukan ta’aquli ( rasional ), dengan mengorbankan segala kepentingan pribadinya beliau penuhi tuntutan Allah tanpa memikirkan apa yang akan terjadi kemudian. Bagi beliau, apa yang diperintahkan oleh Allah Swt pasti mempunyai tujuan kemaslahatan bagi hambanya, walaupun perintah itu tidak rasional.
Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim agar menyembelih putranya Ismail AS adalah dalam rangka ujian terhadap kesetiaan dan loyalitasnya kepada Allah Swt, sekilas memang nampak janggal, ketika seorang nabi seperti Nabi Ibrahim masih perlu dilakukan uji kesetiaan dan ketaatan, namun kejanggalan ini akan segera hilang manakala kita menyadari bahwa kehadiran para nabi di dunia ini adalah untuk memberi contoh kepada umatnya. Apabila seorang nabi saja masih diuji loyalitasnya dan ketaatanya pada Allah, apalagi manusia-manusia lain yang bukan nabi tentu lebih layak untuk diuji.kalau nabi Ibrahim diuji oleh Allah agar menyembelih putranya, maka manusia diuji untuk menyembelih hartanya yang di simbolkan dengan binatang ternak, karena harta dan anak menurut Al Qur’an dianggap sebagai perhiasan dunia sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah dalam Surat Al Kahfi ayat 46,” Harta dan anak adalah perhiasan kehidupan dunia”. Agar manusia bisa betul-betul taqarrub kepada Allah, maka ia harus mau mengorbankan segala bentuk perhiasan dunia yang ada padanya, dalam arti lebih mendahulukan perintah Allah dibanding dengan kepentingan nafsu dan pribadinya.
Nabi Ibrahim telah berhasil mengalahkan kepentingannya demi loyalitasnya kepada Allah swt, padahal ujian yang diberikan kepada beliau adalah luar biasa berat, sebagaimana yang digambarkan oleh Al Qur’an Surat Ash Shaffat ayat 106 dengan al bala’al mubin yaitu ujian yang nyata.
Oleh sebab itu, wajar apabila momen kemenangan ini dibadaikan oleh Allah menjadi syari’at Nabi akhir zaman Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan setiap tahun dengan diringi gema takbir yang juga mempunyai pesan spiritual yang mendalam..
Takbir bukan hanya untaian kalimat yang keluar dari mulut namun tanpa makna. Takbir adalah mengagungkan Allah dengan menerapkan hukum-hukum Allah dan meninggalkan aturan-aturan produk manusia. Takbir adalah mengagungkan Allah dengan memperhatikan rumah Nya atas rumah kita. Takbir adalah mengagungkan Allah dengan membuang sifat kesombongan yang melekat pada diri kita. Pertanyaannya adalah sudah bertakbirkah kita?
Tampaknya takbir kita hanya terbatas pada formalitas acara-acara tertentu. Kita sering bertakbir bahkan takbir Akbar, namun panggilan Allah untuk sholat berjamaah selalu kita anggap kecil. Bahkan rumah Allah ( masjid ) kita biarkan roboh, bocor, berdebu, kotor dan tidak terawat sementara rumah-rumah kita megah mewah dan selalu indah. Al Qur’an hanya kita jadikan sebagai Syair yang didendangkan ketika ada hajatan dan perlombaan namun Koran selalu kita jadikan pedoman. Apakah dengan begitu kita pantas disebut sebagai orang yang telah bertakbir?
Karenanya, ibadah kurban yang datang setiap tahun ini jangan kita hanya kita jadikan sebagai upacara rutin saja melainkan juga mampu mendidik kita seperti Nabi Ibrahim yang mampu mendahulukan kepentingan Allah di atas kepentingan pribadinya. Bila tidak, maka kita hanya akan meneriakkan kalimah Allahu Akbar dimana-mana, namun perilaku kita justru melecehkan Allah Swt. Untuk itu jadikan kurban sebagai cerminan ketaqwaan kita dan tonggak dari ibadah kita, bukan sebagai puncaknya. Wallahu a’lam bishshowwab.
Created by Ahmad Rifa’I Adz Dzamawiy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar