Diceritakan, Ubaidah ibn al-Jarrah, jenderal yang memimpin tentara Islam dalam pertempuran melawan Romawi, pernah berkirim surat kepada Khalifah Umar ibn al-Khattab tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Dalam surat balasannya Khalifah Umar menyuruh Ubaidah agar bersabar dan tahan uji, karena Allah akan memberikan banyak kemudahan di balik kesulitan itu.
Sabar dan tahan uji, serta penuh harap (optimisme) terhadap pertolongan Allah seperti dipesankan Khalifah Umar di atas haruslah menjadi keyakinan kaum beriman. Dalam Alquran ditemukan banyak ayat yang menjanjikan kemudahan di balik kesulitan. Allah berfirman, "Allah akan memberikan kelapangan setelah kesempitan." (Al-Thalaq: 7). Dalam ayat lain, kemudahan itu dikatakan datang bersama dengan kesulitan itu sendiri. Dengan kata lain, dicelah-celah setiap kesulitan selalu ada kemudahan. Perhatikan firman Allah ini: "Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan."(Al-Insyirah: 5-6).
Kemudahan itu, tentu saja tidak datang secara cuma-cuma. Dibutuhkan sekurang-kurangnya tiga syarat untuk mendapatkannya. Pertama, usaha dan kerja keras dari setiap orang yang diterpa kesulitan. Kedua, sabar dan tahan uji dalam mengatasi dan menanggulangi kesulitan itu. Ketiga, penuh harap dan optimistik bahwa kesulitan itu akan segera berlalu.
Dalam hadis yang bersumber dari Abu Hurairah dikatakan bahwa pertolongan Allah pasti datang sebesar bantuan yang diperlukan (nazala al-ma'unah 'ala qadr al ma'unah) dan kesabaran pun datang sebesar musibah yang menimpa (nazal al-shabr la qadr al-mushibah). Sejalan dengan makna hadis ini, Imam Syafi'i pernah memberikan nasihat. Katanya, "Siapa yang meyakini kebesaran Allah, ia tidak pernah ditimpa kehinaan. Dan siapa yang menyandarkan harapan kepada-Nya, pastilah harapan itu menjadi kenyataan (wa man raja-hu yakunu haitsu raja).
Optimisme seperti dikemukakan di atas sungguh penting agar manusia tidak gelap mata melihat masa depan. Manusia pada umumnya mengambil dua sikap dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. Pertama, sikap patah semangat dan putus asa. Sikap ini tentu bukan sikap dan watak dari seorang yang beriman. "Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang sesat." (Alhijr: 56).
Kedua, sikap penuh harap (optimisme) disertai instrospeksi dan mawas diri. Orang yang mengambil sikap ini tidak pernah menimpakan kesalahan kepada pihak lain, apalagi kepada Tuhan. Ia tidak pernah berprasangka buruk (su'u al-dzan) kepada Allah meski doa yang setiap saat dipanjatkan belum juga terkabul. Ia justru mengevaluasi diri kalau-kalau perjuangan dan doa yang dilakukan belum optimal.
Dalam soal doa ini barangkali perlu disimak nasihat seorang pujangga. Katanya, "Kalau di tengah kegelapan malam Anda meminta siang hari datang, berarti permohonan Anda sia-sia. Tapi bila kepekatan malam telah mencapai puncaknya, pastilah fajar segera menyingsing, dan dalam kecerahan fajar itu, banyak hal bisa Anda lakukan."
Jadi selain berdoa kita harus jihad dan kerja keras dan terus bekerja keras tanpa kenal lelah. Ketika itu, kemudahan pasti akan datang, dan badai pun pasti berlalu. Semoga!!!
sumber : muslimah berjilbab (Sabtu, 14 Maret, 2009)
Sabar dan tahan uji, serta penuh harap (optimisme) terhadap pertolongan Allah seperti dipesankan Khalifah Umar di atas haruslah menjadi keyakinan kaum beriman. Dalam Alquran ditemukan banyak ayat yang menjanjikan kemudahan di balik kesulitan. Allah berfirman, "Allah akan memberikan kelapangan setelah kesempitan." (Al-Thalaq: 7). Dalam ayat lain, kemudahan itu dikatakan datang bersama dengan kesulitan itu sendiri. Dengan kata lain, dicelah-celah setiap kesulitan selalu ada kemudahan. Perhatikan firman Allah ini: "Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan."(Al-Insyirah: 5-6).
Kemudahan itu, tentu saja tidak datang secara cuma-cuma. Dibutuhkan sekurang-kurangnya tiga syarat untuk mendapatkannya. Pertama, usaha dan kerja keras dari setiap orang yang diterpa kesulitan. Kedua, sabar dan tahan uji dalam mengatasi dan menanggulangi kesulitan itu. Ketiga, penuh harap dan optimistik bahwa kesulitan itu akan segera berlalu.
Dalam hadis yang bersumber dari Abu Hurairah dikatakan bahwa pertolongan Allah pasti datang sebesar bantuan yang diperlukan (nazala al-ma'unah 'ala qadr al ma'unah) dan kesabaran pun datang sebesar musibah yang menimpa (nazal al-shabr la qadr al-mushibah). Sejalan dengan makna hadis ini, Imam Syafi'i pernah memberikan nasihat. Katanya, "Siapa yang meyakini kebesaran Allah, ia tidak pernah ditimpa kehinaan. Dan siapa yang menyandarkan harapan kepada-Nya, pastilah harapan itu menjadi kenyataan (wa man raja-hu yakunu haitsu raja).
Optimisme seperti dikemukakan di atas sungguh penting agar manusia tidak gelap mata melihat masa depan. Manusia pada umumnya mengambil dua sikap dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. Pertama, sikap patah semangat dan putus asa. Sikap ini tentu bukan sikap dan watak dari seorang yang beriman. "Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang sesat." (Alhijr: 56).
Kedua, sikap penuh harap (optimisme) disertai instrospeksi dan mawas diri. Orang yang mengambil sikap ini tidak pernah menimpakan kesalahan kepada pihak lain, apalagi kepada Tuhan. Ia tidak pernah berprasangka buruk (su'u al-dzan) kepada Allah meski doa yang setiap saat dipanjatkan belum juga terkabul. Ia justru mengevaluasi diri kalau-kalau perjuangan dan doa yang dilakukan belum optimal.
Dalam soal doa ini barangkali perlu disimak nasihat seorang pujangga. Katanya, "Kalau di tengah kegelapan malam Anda meminta siang hari datang, berarti permohonan Anda sia-sia. Tapi bila kepekatan malam telah mencapai puncaknya, pastilah fajar segera menyingsing, dan dalam kecerahan fajar itu, banyak hal bisa Anda lakukan."
Jadi selain berdoa kita harus jihad dan kerja keras dan terus bekerja keras tanpa kenal lelah. Ketika itu, kemudahan pasti akan datang, dan badai pun pasti berlalu. Semoga!!!
sumber : muslimah berjilbab (Sabtu, 14 Maret, 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar