Selasa, 16 Agustus 2011

RAMADHAN BULAN KEMERDEKAAN




Bulan Ramadhan sesungguhnya adalah bulan bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada bulan ini, tepatnya pada 9 Ramadhan 1364 H atau 17 Agustus 1945 M, Soekarno – Hatta atas nama bangsa Indonesia memprolamasikan kemerdekaan Indonesia setelah lebih kurang 350 tahun lamanya hidup terjajah; sejak tahun 1602 dimana VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) sebuah perusahaan dagang Belanda melakukan monopoli perdagangan dan aktivitas kolonial; kemudian sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang diterapkan oleh pemerintah Belanda sejak tahun 1830; hingga penjajahan Jepang yang berakhir tahun 1945.


Peringatan HUT RI yang bertepatan dengan bulan Ramadhan tahun ini mengingatkan kita bahwa 66 tahun yang lalu,  9 Ramadhan 1364 H / 17 Agustus 1945 M, Allah Yang Maha Kuasa telah menganugerahkan kenikmatan yang luar biasa kepada bangsa Indonesia. Nikmat kemerdekaan yang harus disyukuri agar membawa keberkahan dan kejayaan hidup di dunia dan akhirat.
Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim, 14: 7)
Di bulan mulia ini segenap penduduk negeri hendaknya bermuhasabah. Apakah mereka telah mengisi kemerdekaan ini dengan syukur nikmat atau malah mengisinya dengan kufur nikmat? Apakah mereka semakin beriman dan bertakwa atau malah semakin ingkar dan maksiat?
Mari kita renungkan firman Allah Jalla wa ‘Ala berikut ini,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf, 7: 96).
Cobalah tengok kondisi negeri Indonesia yang kita cintai ini, kemudian timbanglah dengan kalam Ilahi di atas; bagaimana menurut Anda? Apakah bumi Indonesia yang subur-makmur ini membawa keberkahan bagi penduduknya, ataukah malah menjadi laknat? Naudzubillahi min dzalik…
Bercermin pada Bani Israel
Sebagai bahan muhasabah, mari kita mengambil i’tibar dari sejarah Bani Israel. Anak-cucu Ya’kub ini adalah bangsa yang banyak dianugerahi nikmat Allah; diantaranya adalah nikmat kemerdekaan dari penindasan Fir’aun yang telah memperbudak dan menyiksa mereka dengan sangat kejam.
“Dan (ingatlah) ketika kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan, dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (QS. Al-Baqarah, 2: 49)
Peristiwa pembebasan Bani Israel adalah peristiwa mukjizat di luar nalar manusia; lautan terbelah sehingga mereka dapat menyelamatkan diri bersama Musa‘alaihissalam, sementara Firaun dan balatentaranya musnah ditenggelamkan oleh Allah Jalla wa ‘Ala di tengah laut Merah.
“Dan (ingatlah), ketika kami belah laut untukmu, lalu kami selamatkan kamu dan kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.” (QS. Al-Baqarah, 2: 50).[1]
Kemerdekaan yang dianugerahkan Allah Jalla wa ‘Ala tersebut seharusnya disambut oleh Bani Israel dengan rasa syukur; diisi dengan kebangkitan iman dan takwa. Tapi ternyata Bani Israel tidak pandai mensyukuri nikmat Allah.
Sejenak setelah Musa alaihissalam pergi untuk mendapatkan perintah Allah, Bani Israel melakukan kezaliman yang memalukan: menyembah patung anak sapi!
“Dan (ingatlah), ketika kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat puluh malam, lalu kamu menjadikan anak sapi (sebagai sembahan) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah, 2: 51)
Karena perbuatan tersebut Allah Jalla wa ‘Ala menghukum mereka (lihat QS. 2: 54).
Selain nikmat kemerdekaan, Bani Israel pun diberikan nikmat hidayah. Yakni diturunkannya kitab Taurat agar dijadikan petunjuk, dengan memahami isinya serta mengamalkan syariat dan petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya, agar mereka kembali menjadi orang baik-baik dan tidak lagi terjerumus kepada kesesatan.
Tapi lagi-lagi kenikmatan agung tersebut malah disambut dengan kebodohan. Pengalaman melihat berbagai mu’jizat Allah ternyata tidak menjadikan keimanan mereka  bertambah. Berbagai tanda-tanda kekuasan Allah Jalla wa ‘Ala tidak mampu mengikis keingkaran dan ketakaburan mereka.
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: ‘Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.’, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya”. (QS. Al-Baqarah, 2: 55).
Bani Israel berkata kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, “Kami tidak akan beriman kepadamu sampai kami dapat melihat Allah dengan jelas”. Karena sikap dan kelakuan mereka yang demikian itu maka Allah Jalla wa ‘Ala menurunkan azab kepada mereka, yaitu halilintar yang menyambar mereka.
Menurut riwayat, mereka berjumlah tujuh puluh orang yang dipilih oleh Nabi Musa‘alahissalam untuk pergi bersamanya ke bukit Tursina, meminta ampun atas kesalahan mereka menyembah anak sapi. Mereka mengatakan kepada Nabi Musa‘alahissalam bahwa sebelum mereka dapat melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri, mereka tidak akan beriman, tidak akan membenarkan ucapan Nabi Musa ‘alahissalam bahwa Taurat itu adalah Kitab Allah dan bahwa Musa telah mendengar perkataan-Nya bahwa dia memerintahkan untuk menerima perkataan dan mengamalkannya. Lalu datanglah halilintar menyambar mereka itu, sedang yang lain menyaksikan peristiwa itu dengan jelas.
Demikian sikap Bani Israel itu terhadap Nabi Musa ‘alahissalam. Mereka selalu bertingkah dan membangkang. Maka datanglah azab Tuhan kepada mereka.[2]
Selain nikmat kemerdekaan dan nikmat hidayah, Allah Jalla wa ‘Ala juga melimpahkan berbagai kemudahan hidup bagi mereka.
“Dan kami naungi kamu dengan awan, dan kami turunkan kepadamu ‘manna’ dan ‘salwa’. makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah kami berikan kepadamu…” (QS. Al-Baqarah, 2: 57)
Allah Jalla wa ‘Ala menaungkan awan di atas kepala Bani Israel agar terlindung dari panasnya cahaya matahari di padang Tih, kemudian diturunkan pula manna dansalwa yakni makanan manis seperti madu dan daging burung sebangsa puyuh.
Namun mereka tetap ingkar kepada perintah dan petunjuk-petunjuk Allah Jalla wa ‘Ala. Saat diperintahkan untuk memasuki Baitul Maqdis dan menikmati makanan-makanan yang ada di sana seraya mengucapkan do’a dan beristighfar kepada Allah, mereka tidak mau melaksanakannya, bahkan sebaliknya mereka melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah-perintah tersebut, seolah-olah mereka tidak mengakui adanya segala perintah itu.[3]
Selain naungan awan serta manna dan salwa, kemudahan lain yang diberikan AllahJalla wa ‘Ala kepada Bani Israel adalah air minum yang melimpah dan mudah didapat.
“Dan (Ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu’. Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” (QS. Al-Baqarah, 2: 60).
Tapi Bani Israel tetaplah tidak pandai bersyukur. Ketika mereka tersesat di padang pasir Sinai, mereka berkata kepada Nabi Musa ‘alaihissalam bahwa mereka tidak tahan terhadap satu jenis makanan saja, mereka meminta kepada Musa‘alaihissalam agar berdoa kepada Allah Jalla wa ‘Ala untuk mengeluarkan sayur-sayuran yang ditumbuhkan bumi sebagai ganti manna dan salwa.
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: ‘Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya’. Musa berkata: ‘Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta’.” (QS. Al-Baqarah, 2: 61).
Parade kufur nikmat dan perilaku bodoh Bani Israel tidak hanya sampai disana. Dalam Qur’an surah Al-Baqarah disebutkan perilaku buruk lainnya secara terperinci sebagai pelajaran bagi mu’minin. Diantaranya adalah:
  1. Bani Israel meninggalkan syariat dan hukum Allah Jalla wa ‘Ala, hingga Dia angkat bukit Sinai ke atas kepala mereka untuk memperlihatkan kekuasaan-Nya agar mereka beriman dan berpegang teguh kepada Taurat (QS. 2: 63).
  2. Mereka melanggar hari Shabbath dimana mereka dilarang mengerjakan apa pun, karena hari itu khusus untuk ibadah (QS. 2: 65).
  3. Ketika Nabi Musa alaihissalam memerintahkan Bani Israel untuk menyembelih sapi, mereka berkata kepada Musa alaihissalam, “Apakah kamu mempermainkan kami? Kami bertanya kepadamu tentang perkara pembunuhan, lalu kamu menyuruh kami menyembelih seekor sapi. Ini ganjil sekali dan jauh sekali dari apa yang kami maksudkan.” Seharusnya Bani Israel menjalankan perintah Nabi Musa itu dan menyambutnya dengan patuh dan taat. Saat Musa alaihissalam menegaskan perintah itu, mereka malah mensikapinya dengan sikap cerewet dan banyak bertanya: ‘Bagaimana tanda-tanda sapi yang harus disembelih itu?’, ‘Bagaimana warnanya’, ‘Sapi yang bagaimana, kami masih samar?’.
  4. Mengubah-ubah firman Allah (QS. 2: 75).
  5. Bersikap munafik dan menyembunyikan kebenaran (QS. 2: 76 – 77).
  6. Keberagamaan mereka tidak berdasarkan ilmu (taklid buta, pemahaman yang dangkal, dan berdasar sangkaan-sangkaan).
  7. Ulamanya menjual ayat-ayat Allah (QS. 2: 79).
Masih banyak lagi keterangan-keterangan lainnya. Ringkasnya adalah Bani Israel telah kufur nikmat. Padahal Allah Jalla wa ‘Ala telah menganugerahkan kepada mereka kenikmatan yang banyak.
Bagaimana dengan ‘Bani Indonesia’?
Seperti halnya Bani Israel, ‘Bani Indonesia’ pun telah dianugerahi kenikmatan yang banyak: Kemerdekaan dari penjajah, penduduknya mendapat hidayah Islam, dan kekayaan alam yang melimpah ruah.
Lalu bagaimanakah mereka menyambut nikmat Allah Jalla wa ‘Ala tersebut? Apakah dengan syukur nikmat? Ataukah dengan kufur nikmat seperti yang dilakukan Bani Israel?
Setelah memasuki gerbang kemerdekaan apakah yang mereka lakukan?
Wahai saudaraku muslimin Indonesia, apa pun jawabannya, saat ini marilah kita tingkatkan iman dan takwa. Tunduk, taat, dan takutlah kepada-Nya. Mohon ampun dan kembalilah kepada-Nya. Berpegang teguhlah pada kitab Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya. Laksanakanlah syariat-Nya. Sehingga kita layak disebut sebagai hamba-hamba yang bersyukur kepada-Nya.
Ramadan dan Kemerdekaan hakiki
Ramadan telah datang menghampiri kita, mengajarkan kemerdekaan yang hakiki. Yakni terbebasnya jiwa dari kotoran yang merusak keimanan; melemahkan mental; menghancurkan akhlak mulia; menumbuhkan kebodohan dan kemalasan; mencabut keberanian dan melenyapkan semangat juang.
Di bulan penuh rahmat ini kita berlatih melakukan perlawanan terhadap hawa nafsu dan syahwat. Berupaya menundukkan dan mengendalikannya agar tidak menjajah jiwa. Inilah kemerdekaan hakiki.
Apakah kita akan berteriak ‘merdeka!’, sementara kebodohan; korupsi dan penyalahgunaan wewenang; kemiskinan dan pengangguran; kriminalitas dan kekerasan; krisis penegakkan hukum, kerusakan etika dan budaya masih mewabah?
Apakah kita akan berteriak ‘merdeka!’, sementara diri kita masih terjajah oleh hawa nafsu? Bahkan tanpa sadar menjadikannya sebagai ‘tuhan’ kita? Na’udzubillah…
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS. Al-Furqan, 25: 43)
Ayat ini merupakan celaan kepada mereka yang memperturutkan hawa nafsunya sehingga dijadikan landasan untuk semua urusannya. Mereka tidak mau memperhatikan aturan-aturan Allah Jalla wa ‘Ala, dan tidak mau mengindahkan ajaran serta bimbingan rasul-Nya.



Oleh karena itu, ayo merdekakan diri dari penjajahan hawa nafsu! Jangan biarkan hati mengeras seperti batu. Tunduklah kepada Allah.
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid, 57: 16)
Ya Allah Tuhan kami…bimbinglah kami. Jadikanlah kami manusia-manusia merdeka…

Tidak ada komentar: